Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri

Dalam perjalanan dari luar negeri (Paris-Perancis) secara kebetulan di pesawat saya duduk berdampingan dengan orang Indonesia . Kami saling berkenalan dan akhirnya memang sedikit curhat perihal tugas pekerjaan kami. Rekan saya tersebut adalah seorang ibu yang bergelar doktor dan berprofessi sebagai peneliti. Ibu tersebut berceritera kepada kami bahwa ia baru saja menyelesaikan sebuah penelitian di bidang pertanian dan kelauatan serta memberi laporan kepada sponsor di Paris yang membeayai penelitian tersebut. Sang ibu antara lain mengeluh: “Ya, saya sudah mengajukan permohonan dana penelitian kepada Departemen terkait di Indonesia, tetapi ditolak, katanya tidak ada dana penelitian”. Mendengarkan sharing ibu ini dalam hati saya bertanya-tanya: :”Kalau pemerintah sendiri tidak menghargai karya warganegranya, suatu penelitian yang penting demi kemajuan bangsa dan Negara, maka dapat dipahami jika Negara kita ketinggalan dalam derap langkah pembangunan tehnologi”. Yang menikmati dan kiranya langung memanfaatkan hasil penelitian sang ibu tersebut jelas pihak sponsor alias orang asing, bukan bangsa sendiri. Rasanya hal-hal macam itu cukup banyak terjadi dimana kepakaran dan keahlian warganegara sendiri kurang dihargai dan lebih menghargai orang asing. Maka benarlah apa yang disabdakan oleh Yesus :”Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.”

"Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.” (Mrk 6:4)

Anak-anak sekolah, para siswa-siswi, pada umumnya lebih menghormati dan mentaati para bapak-ibu guru di sekolah daripada orangtuanya di rumah. Gejala ini hemat saya menunjukkan bahwa para orangtua kurang atau salah dalam mengasihi anak-anaknya, sehingga anak-anak merasa kurang dikasihi oleh para orangtuanya. Orangtua mereka mungkin menjadi pejabat tinggi di perusahaan atau kantor pemerintahan, dan dengan demikian sangat dihormati oleh rekan kerja atau bawahan mereka, tetapi di rumah mereka kurang atau tidak dihormati oleh anak-anaknya. Orangtua kurang menghargai aneka kemajuan dan perkembangan yang terjadi dalam diri anak-anaknya. Maka marilah kita biasakan sedini mungkin untuk saling menghargai dan menghormati mereka yang hidup dan bekerjasama setiap hari bersama kita maupun karya-karyanya.

Saling menghargai sedini mungkin hendaknya dibiasakan di dalam keluarga, misalnya dalam hal makanan dan minuman yang disediakan setiap hari di dalam keluarga, tentu saja bukan yang dibeli dari warung makan atau restaurant tetapi yang dimasak sendiri entah oleh ibu rumah tangga maupun pembamtu rumah tangga. Jika anak-anak di dalam keluarga sedini mungkin terbiasa menghargai dan menikmati makanan yang tersedia di rumah tersebut, maka kami percaya bahwa kelak kemudian hari mereka akan dengan mudah menghargai hasil karya rekan-rekan yang dekat dengan mereka, entah selama dalam proses pembelajaran di sekolah maupun di tempat kerja atau masyarakat.

Kami mengajak dan mengingatkan kita semua untuk menghargai dan menikmati aneka macam produk dalam negeri, hasil karya bangsa sendiri, entah pakaian, makanan, minuman atau aneka macam jenis kebutuhan hidup sehari-hari. Jika kita semua berani melakukan hal ini kiranya kehidupan ekonomi rakyat atau bangsa kita akan lebih baik dari yang terjadi sekarang ini. Masa kini rasanya cukup banyak orang lebih menjadi konsumen produk asing daripada produk dalam negeri atau lebih menjadi konsumen daripada produsen; dan hal ini kiranya karena pengaruh ‘neo liberalism’ dimana kehidupan bersama lebih dipengaruhi oleh mental pasar atau bisnis. Marilah kita imani dan hayati aneka macam bentuk pembaharuan yang telah dilakukan oleh rekan-rekan sendiri, anggota keluarga/masyarakat atau bangsa sendiri. Marilah kita saling mempercayai satu sama lain dengan saudara-saudari yang setiap hari hidup maupun bekerja bersama dengan kita.

“Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor 12:10 ).

Dengan bangga dan gembira Paulus mensharingkan pengalaman akan kelemahan dan kerapuhan dirinya sekaligus kekuatan Allah yang berkarya dalam dirinya yang lemah dan rapuh. Apa yang dikatakan oleh Paulus kepada umat di Korintus di atas kiranya dapat menjadi bahan mawas diri para imam tertahbis maupun imamat umum kaum beriman pada awal Tahun Imam ini:

1). Pertama-tama perkenankan saya mensharingkan usaha penghayatan imamat saya. Fungsi imam pada umumnya kentara di dalam ibadat, dimana imam memimpin ibadat, yang di dalamnya antara lain menyalurkan berkat Allah kepada umat dan doa-doa umat kepada Allah. Dengan kata lain fungsi imam adalah sebagai ‘penyalur’dalam kehidupan bersama. Anggota tubuh kita yang kelihatan yang berfungsi sebagai penyalur adalah ‘leher’, melalui mana aneka makanan, minuman dan udara masuk ke dalam tubuh. Leher tidak dapat menikmati betapa enaknya atau segarnya makanan, minuman atau udara, ia hanya dilewati; leher berfungsi terus menerus meskipun anggota tubuh lain istirahat, yaitu ketika kita sedang tidur (leher sebagai jalan udara). Menghayati imamat sebagai ‘leher’ kiranya berpartisipasi dalam Salib Yesus, Salib yang berada di tempat tertinggi di bukit, menghubungkan sorga dan dunia, langit dan bumi. Leher juga tidak pernah mengkorupsi apa yang lewat, ia siap menderita demi kebahagiaan atau keselamatan seluruh tubuh, leher juga tidak pernah menyakiti yang lain. Bukankah leher boleh dikatakan sebagai anggota tubuh yang oleh Paulus dikatakan sebagai yang ‘di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiyaan dan kesesakan’ dan dalam keadaan demikian tetap senang dan gembira karena kekuatan Kristus yang berkarya?. Menjadi imam tertahbis memang harus siap sedia dan rela berkorban dengan jiwa besar untuk menderita demi kebahagiaan dan keselamatan yang lain, tidak pernah mengeluh atau menggerutu dalam pelayanan dan tugas pengutusan apapun dan dimanapun.

2). Sebagai umat yang beriman kepada Yesus Kristus kita semua dipanggil untuk menghayati imamat umum kaum beriman. Kita semua dipanggil.untuk menjadi rahmat atau berkat bagi sesama kita kapanpun dan dimanapun. Kehadiran dan sepak terjang kita senantiasa diharapkan menjadi warta gembira bagi orang lain; kita semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesama manusia. Hidup dan segala sesuatu yang menyertai kita, yang kita kuasai atau nikmati sampai saat ini adalah rahmat atau berkat Tuhan, maka hendaknya semuanya itu difungsikan demi keselamatan atau kebahagiaan sesamanya antara lain dengan meneruskan atau mempersembahkan semuanya itu bagi kebahagiaan atau keselamatan bersama. Kita semua dipanggil untuk menjadi ‘man or woman for/with others’, bersikap mental sosial dan tidak egois. Kita semua juga dipanggil menghayati kenabian iman kita antara lain dengan meneladan panggilan Yeheskiel yang dipanggil untuk menjadi nabi di tengah umatNya. Dengan kata lain masing-masing dari kita adalah nabi, orang yang meneruskan atau menyampaikan kehendak dan perintah Tuhan kepada sesama. Kita juga dipanggil untuk menyampaikan kehendak Tuhan di tengah-tengah orang yang kurang atau tidak beriman alias ‘para pemberontak atau penjahat’.

“Kepada-Mu aku melayangkan mataku, ya Engkau yang bersemayam di sorga.Lihat, seperti mata para hamba laki-laki memandang kepada tangan tuannya, seperti mata hamba perempuan memandang kepada tangan nyonyanya, demikianlah mata kita memandang kepada TUHAN, Allah kita, sampai Ia mengasihani kita.Kasihanilah kami, ya TUHAN, kasihanilah kami, sebab kami sudah cukup kenyang dengan penghinaan; jiwa kami sudah cukup kenyang dengan olok-olok orang-orang yang merasa aman, dengan penghinaan orang-orang yang sombong” (Mzm 123)

Previous
Next Post »
0 Komentar