Pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat


Setiap orang atau manusia di bumi ini, entah anak-anak atau orangtua, besar atau kecil, tua atau muda dst.. hemat saya senantiasa memiliki tugas pekerjaan atau kesibukan. Setiap orang atau manusia setiap hari senantiasa bepergian, entah jarak dekat atau jarak jauh, bergerak atau berpindah-pindah tempat ke sana kemari. Setiap langkah, pergerakan atau kepergian kita senantiasa membawa dampak pada lingkungan hidup dimana kita berada. Kehadiran kita di tempat-tempat atau lingkungan tertentu dapat mempengaruhi suasana lingkungan maupun sikap hidup pribadi-pribadi dalam lingkungan tersebut. Sebagai orang beriman tentu saja kehadiran kita dimanapun dan kapanpun dapat mempengaruhi lingkungan hidup menjadi lebih baik, begitu juga pribadi-pribadi yang kena dampak kehadiran kita semakin baik. Dengan kata lain cara hidup dan cara bertindak kita memiliki dimensi rasuli, meneladan tugas pengutusan para rasul untuk “memberitakan bahwa orang harus bertobat”.

“Pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat,dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka.”(Mrk 6:12-13)

Orang sakit ada dimana-mana, entah sakit hati, sakit jiwa, sakit akal budi atau sakit tubuh. Dimana lingkungan hidup, entah dalam keluarga, masyarakat atau tempat kerja kurang nyaman atau enak untuk didiami dan bekerja, kiranya ada orang atau pribadi-pribadi yang sedang menderita sakit atau ‘kerasukan setan’. Setan dapat menjiwai pribadi-pribadi sehingga mereka menderita sakit, mungkin bukan sakit tubuh melainkan sakit hati atau sakit jiwa yang menggejala dalam bentuk kegiatan amoral seperti “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.”(Gal 5:19-21). Kita semua dipanggil untuk mengusir setan dan mengoles orang sakit dengan minyak agar sembuh.

“Mengusir setan dan mengoles orang lain” dengan minyak ini kiranya dapat kita hayati atau laksanakan dengan kehadiran, sapaan atau sentuhan yang dijiwai oleh kasih. Yesus berpesan “supaya jangan membawa apa-apa dalam perjalanan mereka, kecuali tongkat, roti pun jangan, bekal pun jangan, uang dalam ikat pinggang pun jangan, boleh memakai alas kaki, tetapi jangan memakai dua baju”, dengan kata lain yang utama dan pertama adalah pribadi kita masing-masing, bukan sarana-prasarana dalam melaksanakan tugas pengutusan. Masing-masing dari kita adalah ‘buah kasih’, ‘yang terkasih’ atau ‘kasih’, maka selayaknya cara hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapanpun dijiwai oleh kasih. “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”(1Kor 13:4-7)

Sabar, murah hati, sopan serta tidak mencari keuntungan diri sendiri itulah kiranya yang baik kita hayati agar cara hidup dan cara bertindak kita dapat mendorong orang lain untuk bertobat atau memperbaharui diri, meninggalkan sikap hidup yang tak bermoral/amoral. “Sabar adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan kemampuan dalam mengendalikan gejolak diri dan tetap bertahan seperti keadaan semula dalam menghadapi berbagai rangsangan atau masalah” (Prof Dr Edi Sedyawati: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur – Balai Pustaka, Jakarta 1997, hal 24). Murah hati antara lain berarti menjual murah hatinya alias senantiasa memperhatikan siapa saja. Sopan berarti senantiasa menghadirkan diri sedemikian rupa sehingga menarik dan memikat bagi orang lain untuk bertobat. Sikap hidup atau cara bertindak sabar, sopan, murah hati dan tidak mencari keuntungan diri sendirinya rasanya dapat menjadi ‘senjata’ untuk mengusir setan maupun menyembuhkan orang sakit.

“Di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, yang dilimpahkan- Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian “ (Ef 1:7-8)

Kita semua telah menerima penebusan, kasih pengampunan atau kasih karuna Allah secara melimpah ruah ‘dalam segala hikmat dan pengertian’ secara cuma-cuma melalui saudara-saudari kita, yang telah berbaik hati. Apa yang telah kita terima tersebut hendaknya diteruskan atau disebar-luaskan kepada sesama dan saudara-saudari kita, itulah bentuk penghayatan dimensi rasuli iman kita. Kasih pengampunan dan kasih karunia rasanya sangat mendesak pada masa kini untuk dihayati dan disebarkan. Kita dipanggil untuk meneladan Amos yang menyadari dan menghayati bahwa “TUHAN mengambil aku dari pekerjaan menggiring kambing domba, dan TUHAN berfirman kepadaku: Pergilah, bernubuatlah terhadap umat-Ku Israel” (Am 7:15 ).

Bernubuat terhadap sesama atau saudara-saudari kita itulah panggilan kita. Bernubuat berarti meramal, mungkinkah kita meramal masa depan sesama atau saudara-saudari kita. Jika kita berhasil mengajak sesama dan saudara-saudari kita untuk menghayati kasih pengampunan dan kasih karunia, maka kita tahu masa depan mereka, yaitu akan hidup berbahagia, damai sejahtera, selamat baik lahir maupun batin. Setiap atau semua orang mendambakan hidup berbahagia, damai sejahtera dan selamat; dambaan tersebut akan segera terwujud jika masing-masing dari kita menghayati kasih pengampunan dan kasih karunia Allah. Maka marilah kita saling mengasihi dan mengampuni.

“Hikmat dan pengertian” yang dimaksudkan oleh Paulus di atas kiranya antara lain kasih pengampunan dan kasih karunia tersebut. Orang yang berhikmat dan berpengertian berarti senantiasa hidup dan bertindak dijiwai oleh kasih pengampunan dan kasih karunia. Ia tidak mengingat-ingat atau memperhitungkan aneka macam dosa, kesalahan, cacat dan kekurangan sesama atau saudara-saudarinya, melainkan senantiasa menempatkan mereka di hadapannya tanpa cacat atau kerut sedikitpun. Orang yang berhikmat dan berpengertian berarti juga hidup dijiwai oleh Roh, sehingga cara hidup dan cara berindaknya menghasilkan buah-buah Roh seperti “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22 -23). Marilah kita saling membantu dan bekerja sama untuk mengusahakan agar keutamaan-keutamaan sebagai buah Roh tersebut menjadi milik kita, sehingga kita semua layak disebut sebagai yang berhikmat dan berpengertian. Hikmat dan pengertian dalam hal-hal spiritual itulah yang hendaknya kita usahakan bersama-sama, sehingga kita semua cerdas secara spiritual atau cerdas beriman.
Previous
Next Post »
0 Komentar